22 tahun yang lalu

22 tahun yang lalu, di tanggal yang sama, ada sekelompok orang yang berharap-harap cemas menunggu kelahiran seorang bayi. Ayahnya duduk dalam diam di luar ruang operasi. Kakek-neneknya hadir dan duduk menunggu bersama ayahnya dalam diam. Di kapel dekat rumah sakit bersalin, seorang biarawati Katolik berdoa kepada Bunda Maria, memintaNya untuk berdoa bersama-sama. Di dalam sebuah ruang operasi, seorang dokter memusatkan seluruh perhatian dan tenaga untuk 2 nyawa sekaligus. Seorang ibu yang terbius tenang, dan seorang bayi yang sebentar lagi akan menghirup bau dunia.

Jarum jam terus bergerak, tidak ada tanda-tanda bayi itu telah lahir. Semuanya masih menunggu dalam hening. Hening yang mencekam.

Pintu ruang operasi terbuka. Tidak ada suara tangis bayi. Sang ayah hanya melihat seorang perawat berlari tergesa-gesa dengan bayi dalam gendongannya ke sebuah ruangan yang tak jauh dari ruang operasi. Bayi itu diam. Semua orang juga diam. Hanya terdengar derap langkah sang perawat.

Hanya melalui jendela nako, sang ayah dan yang lain melihat sang perawat memegang kedua kaki sang bayi dan menggegam dengan posisi kepala bayi di bawah. Ditepuk-tepuknya pantat bayi itu oleh si perawat. Si perawat lalu mengambil sebuah selang dan memasukkannya ke dalam tenggorokan bayi tersebut. Perawat itu menyedot cairan, lalu memuntahkannya di wastafel yang tak jauh dari tempat ia berdiri. Proses itu diulangi lagi.

Semuanya memandang dalam diam. Degupan jantung terdengar kencang. Doa-doa dipanjatkan sekeras-kerasnya dalam hati.

Dan doa mereka didengar…

Tangis bayi itu terdengar…

Semua hati melonjak kegirangan dan berseru… “selamat datang…” kepada si bayi.

22 tahun setelahnya, si bayi bertumbuh, berkembang, dan terus belajar serta mengingat arti bersyukur.

Dia ingin berterima kasih kepada siapapun mereka yang telah memanjatkan doa dalam proses kelahirannya. Siapapun mereka. Sayang, dia tak tahu nama perawat yang telah menolongnya untuk menghirup udara segar di dunia ini.

Siapapun mereka, dia berharap bahwa mereka akan merasakan suka cita sama seperti apa yang telah ia rasakan. Menyapa kegembiraan dengan senyum, begitu juga dengan kesedihan. Damai… damai… dan damai yang mereka rasakan. Itu yang ia harapkan.

Karena…

Dia bersyukur, dia diberi kesempatan untuk hidup.

Orang boleh datang dan pergi, namun skenario telah dibuat. Terukir manis di sejarah hidup, dan disimpan rapat-rapat di dalam ruang hati. Memori-memori ini membuat bibirnya tersenyum…

🙂

terima kasih…

CVB

Leave a comment