Korelasi antara Keterbatasan dan Kreativitas

Pengalaman Siang ini mengantar saya berpikir tentang hubungan antara Keterbatasan dan Kreativitas.

Sebuah pengalaman sederhana sebenarnya. Berawal dari betapa ngantuknya saya pagi ini. Hari senin. Kelas pagi pukul 8. Faktor yang cukup jelas untuk sebuah kutukan Senin pagi – rasa Ngantuk! Otak saya memberi tahu solusi paling jelas dan brilian. “KOpi” Tapi, mengingat sudah berapa banyak dolar saya habiskan untuk secangkir Latte (tidak menghitung makan di luar, jajan, leha-leha, dan shopping), saya merasa sudah saatnya saya menginjak rem dompet saya untuk urusan Jajan-mengjajan lagi. Akhirnya saya berkeputusan untuk masuk ke Dining Hall dan minum kopi dari situ saja.

Kopi + creamer + soy milk + Ice = Ice Soy latte super ala Chendani yang membuat otak saya ngejoss dan menjadi produktif lagi… “haleluya!!” hahaha…

Kopi di dining Hall bisa juga jadi enak dan membuat saya tidak ngantuk. Pertanyaannya!!! “BARu sADAR????”

Dengan reluctant saya menjawab, “Ya… saya baru sadar”

Jujur, beberapa minggu terakhir ini, otak saya tidak memikirkan hal yang seharusnya dipikirkan, saya membuang isi dompet sesuka hati, hingga keenakan. Otak saya seperti buntu. sudah menjadi kebiasaan saya untuk ngopi di kafe, merasa seperti orang kaya saja. ck ck ck. Hati saya nyeri menulis ini, seperti menelanjangi diri sendiri. haha. Tapi, saya tahu bahwa dari sekian banyak wajah yang tersenyum geli sambil bergumam “ya ampuuun, baru tahu chen?”, ada di antara kalian yang pernah berada dalam situasi saya. Generasi kita memasuki jaman dengan kebudayaan konsumerisme yang tinggi. Saya dan mungkin beberapa di antara kalian menjadi korban.

Tidak penting siapa… atau perihal tentang perilaku saya yang Manja.

Postingan saya kali ini ingin mengingatkan saya untuk Hidup Sederhana, mengikat tali pinggang, tapi tetap menikmati hidup. Ada banyak cara untuk merasa nyaman dengan tidak membuang uang. Malahan, saya sangat menikmati ide tentang “Keterbatasan adalah Bensin Kreativitas”

Postingan kali ini, saya ingin mendaulatkan paradigma tersebut untuk menjadi moto saya di hari-hari terakhir sebagai mahasiswa. Sudah seharusnya saya tahu status saya sebagai mahasiswa dan anak dari sepasang suami istri yang telah membanting tulang demi anaknya ini, saya tidak bisa membuang uang sesuka hati. Lagipula, Sutradara kita yang terkenal itu sudah memberikan kita organ yang paling berharga untuk menunjang hidup. Otak namanya.

Mungkin ini terdengar bodoh. Mungkin kalian bilang “ah saya juga tahu ini” 🙂

tapi, seperti yang saya bilang tadi, postingan ini adalah Reminder untuk saya dan untuk mereka yang membutuhkannya.

“Ahh… saya bersemangat untuk menantang otak saya melawan keterbatasan 😉 hahahaha”

ps: Sungguh! saya semangat…!!!

Leave a comment